Jumat, 24 April 2009

Teori Kritik Sastra

TEORI KRITIK DAN PELAKSANAAN KRITIK DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN

1. Teori Kritik dalam Kritik Sastra Indonesia Modern

Sejak terbitnya roman Azab dan sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1921, maka mulailah tradisi baru dalam sejarah kesusasatraan Indonesia. Mulai tradisi baru yang coraknya berlainan dengan kesuasastraan lama (kesusastraan melayu), baik dalam persoalannya, pandangan hidup, latar belakang, maupun gayanya. Sejak roman Indonesia pertama terbitan balai pustaka itu, maka tak putus-putusnya mengalir karya-karya sastra Indonesia dari tangan para sastrawan Indonesia, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Juga dengar bertambahnya, gaya, corak, serta persoalannya berkembang sesuai dengan pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal itu disebabkan oleh karya sastra itu merupakan pancaran jiwa pengarangnya. Pengarang sebagai anggota masyarakat yang melingkunginya. Persoalan itu menyangkut bidang perekonomian, kemasyarakatan maupun politik, cita-cita, dan sebagainya.

Dalam hal ini timbullah pandangan-pandangan dan aliran-aliran dalam kesusastraan Indonesia yang hendak memberi corak perkembangan kesusastraan Indonesia berdasar paham-paham tersebut. Dengan adanya aliran-aliran dan paham-paham itu, maka terjadilah perdebatan-perdebatan, pertentangan-pertentangan pendapat, bahkan sering meruncing menjadikan permusuhan yang mengakibatkan tidak sehatnya perkembangan kesusastraan Indonesia. Yang disebabkan karena mementingkan fahamnya, maka mereka lupa atau melupakan hakikat sastra sendiri dan melihat sastra berdasarkan paham-pahamnya itu.

Kalau diingat bahwa seseorang sastrawan itu juga seorang ” kritikus” , maka dapatlah dari karya –karyanya itu disimpulkan bagaimana ia menilai karya sastra, Kalau kita baca roman-roman Indonesia dalam masa permulaan pertumbuhannya, maka akan tampak bahwa di dalamnya sangat diutamakan pemberian didikan kepada pembaca, bahkan para penulis roman itu secara langsung memberi nasehat dan didikan kepada pembaca tentang berbagai masalah, tentang sikap baik dan buruk, tentang budi pekerti yang pantas dan yang tidak pantas dan sebagainya. Para pengarang tidak tidak hanya cukup menyimpulkan peristiwa-peristiwa yang dialami para pelaku ceritanya, mereka merasa haruslah setgal masalah diberikan komentar panjang lebar dan secara langsung ditujukan kepada pembaca supaya jelas. Para pengarang dalam masa permulaan kesusastraan Indonesia modern memandang bahwa karya sastra yang baik adalah suatu karya yang langsung memberi didikan kepada para pembaca.

Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral hingga dengan demikian, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua.

Teori tentang kritik sastra taraf kedua sudahlah lebih jelas dan tegas dari taraf yang pertama, yaitu ketika timbulnya sastrawan-sastrawan yang tergolong Angkatan Pujangga Baru. Para sastrawan sudah mengemukakan pahamnya tentang kesusastraan yang ditulisnya dalam bentuk esai dan kritik sastra. Dalam masa Pujangga Baru itu sudah bergema pertentangan paham tentang karya sastra, yang berupa paham ”seni untuk seni” dan ”seni bertendens”. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan ”seni untuk seni” dengan tegas diwakili oleh Sanusi Pane.

Pendirian ”seni untuk seni” itu segera mendapat tantangan dari Sutan Takdir Alisjahbana, yang menghendaki ”seni bertendens” , seni diciptakan untuk tujuan, yaituuntuk kepentingan masyarakat, untuk membawa bangsa Indonesia ketaraf penghidupan yang lebih tinggi. Seniman harus memelopori bangsanya, ia harus memimpin bangsanya dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan dan kehidupan. Dikatakannya bahwa ”seni untuk seni” itu kosong, tak berisi. Dengan pendiriannya yang demikian itu, Sitan Takdir Alisjahbana menganjurkan kepada para seniman untuk memutusakan sejarah dengan masa lampau. Dengan kata lain ia menginginkan karya sastra hendaknya bermain dalam masyarakat modern, dengan persoalan-persoalan masyarakat masa kini.

Dengan pecahnya Perang Dunia II, datanglah perubahan yang besar. Masuknya kekuasaan Jepang ke Indinesia membawa perubahan susunan politik, kemasyarakatan, dan perekonomian. Segala ini mempengaruhi sikap hidup bangsa Indonesia, tidak ketinggalan pula sastrawannya. Mereka membawa pembaharuan dalam kesusastraan Indonesia, mereka memperbarui teori penilaian pujangga Baru dengan karya-karya mereka yang revolusioner. Mereka ini dipelopori oleh Chairil Anwar dalam bentuk puisi dan Idrus dalam bidang prosa. Garis-garis pendirian para sastrawan ini makin jelas sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Para sastrawan baru inilah yang kemudian disebut sastrawan Angkatan ’45.

Selam perang karena agresi belanda, masuklah paham baru yang diperkenalkan oleh Van Nieuwenhuyze kepada para sastrawan Indonesia di Jkarta, ialah paham ”humanisme” . yang pada akhirnya terkenal dengan nama ”humanisme universal” . Baru sesudah pemulihan kekuasaan ke tangan pemerintah Republik Indonesia 27 Desember 1949, Perumusan mengenai paham, dan penilaian terhadap kesusastraan dibuat oleh para sastrawan Angkatan ’45. Perumusan itu termuat dalam ”Surat Kepercayaan Gelenggang” bertanggal 18 Pebruari 1950 dan dimuat dalam majalah siasat tanggal 22 Oktober 1950.

Para sastrawan baru itu menghendaki kebudayaan Indonesia baru, yang terjadi dari ramuan kebudayaan dunia dan dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Oleh karena itu, mereka menghendaki penilaian yang baru untuk mengganti penilaian yang usang. Tentunya disini dimaksudkan dengan penilain usang yaitu pada bidang sastra. Terutama dalam penilaian Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Dalam mencari dan menemukan, yang pokok ditemui ialah manusia. Ini sesuai dengan paham humanisme universal tersebut, yaitu paham yang mementingkan hakikat manusia universal, yang umum, tanpa membeda-bedakan golongan dan bangsa. Disini para sastrawan Angkatan ’45 menghendaki kesusastraan yang universal, yang dapat diterima oleh segala manusia.

Sememtara itu karena adanya bermacam-macam golongan di Indonesia, yang pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat LEKRA. Dalam LEKRA ini berkumpullah karyawan-karyawan seni dan buday. Lekra menghendaki seni yang mengabdi kepada rakyat. Para sastrawan Lekra mengingkan kesusastraan yang berpaham kesusastraan sosialis, yaitu yang mengabdi kepada rakyat.

Begitulah paham-paham tentang kesuasatraan dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia secara singkat, dari awal timbulnya hingga sekarang. Paham-paham itu sedikit banyak berpengaruh kepada pelaksanaan kritik sastra di Indonesia, bersangkut-paut dengan penilaian karya sastra.

Pada masa permulaan kesusasteraan Indonesia (sekitar tahun 20-an) belumlah dikemukakan teori ntentang penilaian, kecuali hanya dapat kita simpulkan dari karya-karya sastrawan, yaitu bahwa kesusastraan harus memberi didikan kepada masyarakat. Karena itu secara objektif karya-karya mereka ditinjau dari hakikat seni sastra kurang mutu seninya.

Taraf kedua, dengan munculnya sastrawan-sastrawan Pujangga baru, maka timbul pula paham-paham tentang seni pada umumnya dan pada sastra khususnya. Tokohnya antara lain, Sutan takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, sanusi Pane dan Arminj Pane.

St. Alisjahbana mengkritik karya sastra yamg bertendens kemajuan sebagai karya sastra yang lemah sedangkan penyatuan seninya dijatuhkan pada nomor dua. Filsafat membuat mausia merasa dirinya asing dari dunia.

Arminj Pane berkata untuk menilai suatu kesenian, sebaiknya pujangga itu sendiri yang jadi ukuran. Yang kita utamakan ialah sajak pujangga itu benar-benarlah menyatakan sukmanya atau tindakan yang mencerminkan sukmanya itu secara tepat.

Dala mengkriti St. Alisjahbana tampak berat sebelah karena hanya mementingkan idenya sendiri bahwa masyarakat dan bangsalah yang terpenting meskipun ini memang ide yang positif. Penilaiannya adalah absolute. Beliau kurang menunjau hakikat karya sastra secara metode melainkan berdasarkan idenya sendiri.

Tokoh utama Pujangga Baru yang kedua ialah Sanusi Pane, yang sangat bertentangan pendapatnya dengan Takdir mengenai kebudayaan pada umumnyadan mengenai kesusastraan pada khususnya. Sanusi Pane, selain mementingkan ide dan persoalannya, perlulah ia kembali kepada hakikat seni karena kesusastraan adalah pernyataan seeni sehingga dengan demikian, kesusasteraan tidak hanya turun nilainya hanya menjadi alat propaganda saja. Sanusi dikecam karena ia memakai semboyan “Seni untuk Seni” itu. Padahal jika dilihat perkembangan karyanya Sanusi berkeras hati hendak mencipta seni sastra yang tinggi dan berguna bagi masyarakat.

Jadi jelas bahwa kembalinya Sanusi Pane pada seni untuk seni meskipun ia menolak L’art Pour L’art, ia ingin agar tidak ada pemaksaan id eke dalam karya sastra sehingga menyebabkan karya sastra tidak wajar dan berat sebelah yang akibatnya dapat merendahkan nilainya.

Menurut Arminj Pane, penilaian kesusastraan berdasar hakikatnya: karya sastra harus dinilai berdasar bentuk dan isinya. Begitu juga dalam menilai karya sastra harus dinikai berdasar bentuk dan isinya. Begitu juga dalam menilai karya sastra harus objektif, jangan hanya berdasar perasaan sendiri, tetapi harus sastrawansendiri yang jadi ukurannya, karyanya dapat mencerminkan pengalaman jiwanya atau tidak, itulah yang harus menjadi pertimbangan dalam menilai karya sastra. Pendiriannya tentang adanya persatuan bentuk dan isi serupa dengan pendapat Sanusi Pane. Menurut metode literer, suatu karya sastra tidak dapat diukur dengan ukuran subjektif, menurut paham pribadi si penimbang sendiri ataupun sastrawan sendiri, melainkan harus diukur dengan ukuran objektif berdasarkan hakikat sastra. Dengan pandangan Arminj pane yang subjektif itu maka penilaiannya cenderung kepada relativisme.

Pada Angkatan ’45, orang yang pertama kali dengan tegas mengemukakan teori penilaian ialah Chairil Anwar yang diucapkan pada pidatonya tahun 1946. Ia berpendapat bahwa sebuah sajak yang menjadi ialah suatu dunia-dunia penyair. Dunia itu diciptakan dari bahan-bahan yang berupa pikiran, keadaan alam, keadaan sekeliling, pengaruh-pengaruh seni lain, segala pengaruh dan pikiran-pikiran yang kemudian disatukan, hingga menjadi suatu dunia baru.

Suatu sajak menjadi penting bila karya tersebut dapat menjilmakn segala pengalaman jiwa yang luas, jauh dan dalam ke dalam karya tersebut. Jadi dalam menimbang karya sastra ini, Chairil Anwar mempergunakan kriteria estetis dan ekstra estetis. Ia menilai karya sastra berdasarkan hakikat sastra sebagai karya seni.

HB Jassin, penilaiannya dapat dilihat dalam buku-bukunya, beliau menimbang, menilai karya sastra itu berdasarkan pada karya sastra sendiri, tidak berdasarkan paham dan aliran H.b Jassin mengemukakan bahwa kekurangan seni tendens dan propaganda ialah soal-soal terlalu dilihat dari sudut cita-cita dan keyakinan sendiri sehingga kadang-kadang jadi bertentangan dengan logika, akal, dan budi. Dalam menilai karya sastra harus tidak memandang semboyan seni untuk seni bertendens , orang harus mengutamakan karya sastra sebagai pernyataan seni, jadi berhubungan engan criteria estetis.

Begitulah paham-paham dalam kesusasteraan dan teori penilaian dalam sejarah kesusasteraan Indonesia modern. Pada umumnya dalam teori-teori penilaian ada persamaan antara kritikan dengan seniman meskipun tidak seluruhnya, hanya cara merumuskan yang berlainan. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa menilai karya sastra haruslah pertama kali melihat pada karya sastra sendiri, berhasil mencapai tingkat seni atau tidak, sedangkan mengenai aliran-aliran jatuh pada nomor dua.

PELAKSANAAN KRITIK DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN

Menganalisis karya sastra harus sampai kepada penilaian yang menyeluruh pada norma-normanya dan kemudian menyatukan kembali, menilai karya sastra sebagai keseluruhan yang utuh. Kritik sastra dalam kesusteraan Indonesia belum memuaskan, belum memenuhi kritik sastra menurut metode literer secara semestinya. Seperti pernah dikemukakan oleh Asrul Sani bahwa kerapkali kritikus lebih mementingkan tokoh daripada karya sastranya sendiri.

Mengenai pelaksanaan kritik sastra ini, terutama dipergunakan hasil kritik yang berupa buku atau yang sudah dibukukan, hal ini supaya mudah diikuti, berhubung sukarnya mendapat bahan-bahan dari majalah-majalah yang tersebar, yang tiada tentu hingga sukar diikuti.

Hasil-hasil kritik sastra itu berupa pidato radio, timbangan buku, esai-esai dalam majalah, ceramah dan seminar, dan studi yang berbentuk buku. Kebanyakan berupa fragmen-fragmen, artinya hanya mengenai seorang pengarang, itu pun baru mengenai satu bukunya, atau beberapa bukunya saja; atau apabila sudah berupa buku, itu hanya berbicara tentang pengarang-pengarang tertentu, atau hanya meninjau genre sastra tertentu, misalnya hanya cerita pendek saja, atau hanya roman atau novel saja .

Pada umumnya timbangan buku, gunanya untuk menarik perhatian pembaca terhadap buku baru tersebut. Jadi, fungsinya terutama fungsi komersial. Namun, suatu resensi atau timbangan buku yang baik dapat pula memberikan penerangan kepada pembaca betapapun ringkasnya, berhubung kesempitan ruang timbangan buku itu.

Tidak ada komentar: