Jumat, 17 April 2009

Kehadiran Petir yang Dinantikan

Supernova, tampaknya, berhasil mendudukkan sang penulisnya, Dewi Lestari, 25 tahun, ke kursi sastrawan. Hal itu, setidaknya, tercermin dari pendapat Jakob Sumardjo, kritikus sastra Indonesia, seperti yang tertulis di sampul belakang novel yang diterbitkan Truedee Books itu. "Inilah karya sastra intelektual bergaya pop art yang sepenuhnya bermain di dunia hakiki...."

Ini tentu membahagikan Dee, panggilan akrab Dewi Lestari, alumnus jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung. Yang lebih membahagiakan Dee lagi adalah antusias masyarakat terhadap novel yang "menerabas segala sekat disipliner --fisika, psikologi, religi, mitos, dan fiksi-- itu.

Ketiga buku Dee ditulis dengan gaya penulisan yang berbeda-beda. Di bukunya yang pertama, Supernova ''Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh', banyak kata-kata sulit, sehingga cukup banyak footnote di buku tersebut. Hal ini disebabkan karena pemakaian katanya yang terlalu sukar dimengerti dan menggunakan istilah, sehingga kata-katanya sukar untuk dinikmati. Bagian yang paling menarik dari buku yang pertama adalah cerita tentang 'Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh' dan beberapa puisi yang sarat makna. Dan buku ini ternyata diakhiri dengan ending yang mengejutkan, tak tertebak. Menyisakan satu pemikiran, mungkinkah kita hanya bagian dari sebuah cerita?

Di bukunya yang kedua, Supernova 'Akar', gaya penulisan Dee benar-benar berubah. Tak banyak kata-kata sulit, tak ada lagi footnote. Sehingga perkatanya benar-benar bisa dinikmati dan dipahami, halaman per halaman, tak ada yang terlewatkan. Buku kedua ini sangat imajinatif. Menceritakan tentang karakter Bodhi dengan komunitas punker dan dunia tattoo nya.

Di bukunya yang ketiga, Supernova 'Petir' yang dinanti, gaya bahasa Dee lebih membumi, lebih ringan, apa adanya dan lebih kocak. Diawal cerita disinggung tentang pasangan sejenis yang ada di buku pertama, Dhimas dan Ruben. Dan juga disinggung nama Gio Alvarado dan Diva Anastasia dalam sebuah email yang diterima Dhimas. Kemudian sebagian besar buku bercerita tentang karakter baru, Elektra. Diakhir cerita, tokoh Bong yang ada di buku kedua juga tiba-tiba muncul. Jalinan demi jalinan dalam supernova satu demi satu bertaut. Bagi para pembaca serial Supernova mungkin buku inilah yang paling dinanti-nanti selama hampir dua tahun.

Tokoh utama pada episode Petir ini adalah seorang gadis bernama Elektra. Elektra lahir dari keluarga sederhana, dia hidup bersama ayah dan kakaknya Watti. Ibunya meninggal ketika Elektra masih kecil sedangkan Ayahnya seorang tukang listrik dan membuka usaha bernama Wijaya Elektrik. Elektra adalah sosok yang unik, ia senang menonton kilatan petir semenjak kecil akibat pernah tersetrum aliran listik. Kematian ayahnya membawa satu babak baru dalam kehidupan Elektra karena tak lama setelah kematian ayahnya Watti menikah dan harus pergi meninggalkan Elektra untuk mengikuti suaminya ke Tembagapura . Tinggallah Elektra seorang diri dan harus meneruskan usaha ayahnya dengan setumpuk masalah hutang piutang dan administasi yang tak dimengertinya. Akhirnya ia tak mampu untuk mengelola Wijaya Elektrik dan harus menutupnya.

Dalam masa pencarian kerjanya Elektra menerima surat dari sebuah perguruan tinggi alam gaib yang menawarkan dirinya untuk menjadi asisten dosen (hal 47). Ilmu perklenikan atau adanya nama STIGAN (Sokolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional) membuat semakin menarik novel ini untuk terus dinikmati. Dee berusaha mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang di era modern ini masih mempercayai hal-hal gaib dan berhubungan dengan dunia perdukunan. Ini tercermin dari sikap penasaran tokoh Elektra yang mencoba memenuhi persyaratan 'aneh' yang diajukan dan membawanya bertemu dengan seorang dukun (hal50). Kemudian Elektra mulai menyadari bahwa dalam dirinya terdapat aliran listrik yang mampu membuat dukun tersebut tersetrum. Dee menggambarkan secara jelas dan rinci kisah perdukunan yang dialami Elektra. Dee dapat melukiskan secara gamblang alat-alat perdukukan, prosesi ritualnya, dan penggambaran situasi Ni Asih yang kerasukan arwah Ki Jambrong. Berbeda keadaannya saat Dee berusaha menceritakan proses Elektra sang tokoh utama yang mendapatkan kekuatan listrik dalam tubuhnya. Penceritaannya kurang jelas dan sulit dicerna, maksud Dee menghantarkan pembaca untuk dapat berfikiran logis dan lebih ilmiah. Namun penjelasan yang diberikan Dee kurang rinci dan kurang gamblang sehingga membuat pembaca “melewatkan” pemahaman proses “konsep manuasia memiliki penghantar konduktor yang menghantarkan lisrtrik” (hal136). Inilah kelemahan sastrawan Indonesia yang kurang mampu menggambarkan “ilmu ilmiah/sains” yang diserap di dalam karyanya. Sisi positif yang dapat diambil, dee sudah memberikan hal baru dalam dunia sastra yang menggabungkan hal ilmiah dengan karya sastra, sehingga karya sastra itu memang universal dan mampu melingkupi dunia bidang apapun.

Akhirnya dalam suatu kesempatan Elektra bertemu dengan Ibu Sati seorang paranormal yang akan memberinya petunjuk untuk mengendalikan dan mempergunakan keunikan yang ada dalam diri Elektra . Melalui Ibu Sati ini pula Elektra akhirnya mendapat ilham untuk membuka sebuah usaha Warnet bersama teman-temannya , tidak itu saja Elektra juga akhirnya membuka praktek pengobatan berkat aliran listrik yang ada dalam dirinya.

Kali ini Petir dibuat dengan lebih membumi dan terkesan lebih ringan dari seri sebelumnya, tak jarang joke-joke segar akan ditemui dalam buku ini, persoalan-persoalan serius yang terungkap dalam buku ini disajikan dengan ringan sebagaimana tokoh Elektra yang selalu polos dalam memandang hidupnya. Joke-joke segar yang diluncurkan Dee tampak pada peristiwa Elektra memberikan petuah Watti surat Yohannes 22 ayat 5 yang ternyata dalam kitab injil surat Yohannes hanya sampai pasal 21 (hal 43). Karakter tokoh-tokohnya menarik namun terkesan tak mengada-ada dan sangat mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Gaya menulis Dewi pun kali ini lebih renyah dan mengalir hingga membuat pembaca enggan melepaskan buku ini sebelum sampai ke halaman terakhir. Melalui episode Petir ini sepertinya penulis ingin agar pembaca supernova memperoleh pengalaman yang berbeda dari tiap seri Supernova.

"Tak ada cara untuk menggambarkannya dengan tepat. Tapi coba bayangkan ada sepuluh ribu ikan piranha yang menyergapmu langsung. Kau tak mungkin berpikir. Tak mungkin mengucapkan kalimat perisahan apalagi membacakan wasiat. Lupakan untuk berpisah dengan manis dan mesra seperti di film-film. Listrik membunuhmu dengan sensasi. Begitu dahsyatnya, engkau hanya mampu terkulai lemas. Engkau mati tergoda." (cover belakang)



oleh : Yudit Manja Asmara
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2005
Universitas Negeri Surabaya

4 komentar:

serba-serbi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
serba-serbi mengatakan...

hai... teman-teman...
tolong beri komentar yaks!!!..
Yuo did
Salam budaya!!!

Dr. suyatno, M.Pd. mengatakan...

Blog bagus namun akan lebih bagus jika terus diisi oleh segala pemikiran yang berhamburan dari gagasanmu. Met ber-blog.

Desi Kristiani Pietersz, S.Pd. mengatakan...

wah blogx uda d knal ma p.yatno nih...
mau dnk bs d knal ma p.yatno jg...hehe...
kunjungi blog q ya d www.gadogadopuisi.blogspot.com
jgn lupa ksh koment jg ya....