Selasa, 26 Mei 2009

Kesedihan Chairil

chairil yang ditinggalkan?

Tahun 1943 kesusastraan Indonesia dikejutkan oleh panyiar muda Cahiril Anwar. Dia seperti bom di tengah-tengah ketenangan. Sajak-sajaknya baik bentuk maupun isinya revolusioner, membawa perubahan radikal sekaligus. Waktu itu umur Chairil Anwar baru 20 tahun (Toda. 1984).

Nisan
(untuk nenenda)

bukan kematian benar menusuk kalbu
keridlaanmu menerima segala tiba
tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertahta

(1942)

Sajak Nisan ini oleh para kritikus disepakati sebagai sajak pertama Chairil. Sebuah sajak pendek yang sebenarnya menguraikan secara panjang lebar tentang “nasib” manusia. Maut demikian menusuk kalbu menuntaskan keperkasaan manusia, sebagai makhluk unggul yang mampu meluaskan eksistensinya dalam kebudayaan yang tinggi di antara sesama makhluk penghuni bumi.

Tapi, manusia agung itu ternyata tak memiliki keistimewaan dibandingkan debu sekalipun, tak kutahu setinggi itu atas debu. Maut mengakhiri daya tahan manusia itu. Tapi Chairil terpukau oleh jenis kemampuan lain yang ditunjukkan seorang manusia yang sudah tak berdaya, nenenda, yang mampu menerima kematian secara ikhlas, keridlaanmu menerima segala tiba.

Begitu ringkas dan tuntas, empat larik puisi menggambarkan secara gamblang perjalanan umat manusia di tengah kefanaan, dan duka maha tuan bertahta. Begitu langsung, empat larik puisi dipadatkan sedemikiran rupa, untuk menyampaikan berbagai gagasan atau cakrawala pemikiran tentang hidup, maut, nasib, hubungan darah, keluasan kasih sayang, dan rasa kehilangan yang dalam atas orang-orang terkasih ‘“ tanpa harus diterakan lagi sebagai rangkaian diksi atau kata-kata puisi secara panjang lebar.

Hal ini hanya dapat dikonkretkan, karena adanya kesadaran penuh pada Chairil ‘“ ingin menjadikan diksi pada puisi-puisinya sebagai kebenaran itu sendiri. Penyair Chairil adalah penemu, penguasa, pengolah, pemilihan diksi (kata), sejauh hubungan apa pun yang paling mungkin dilaksanakan untuk menegaskan makna tertentu yang mau disampaikan.

Kata adalah kepenyairan bagi Chairil. Dan kepenyairan tidak ada tanpa keunikan pengoperasian kata. Seorang penyair hanya dapat diukur oleh keberhasilannya menguasi dan memproduksi kata yang khas. Tanpa kerja keras dan keunikan, kata-kata yang terurai tak akan berbeda dengan rangkaian kata-kata umum yang telah memasyarakat sebagai bahasa awam. Sementara seorang penyair adalah seorang pengguna bahasa yang menolak menjadi awam.

Kegiatan berpuisi pada Angkatan 45 adalah kerja arsitektural yang sungguh-sungguh, jauh dari peluapan emosi sebagaimana terjadi pada pembuatan sajak-sajak remaja. Chairil menegaskan bahwa sebagai seniman, seseorang harus mempunyai ketajaman dan ketegasan dalam menimbang dan memutus, agar setiap kata dipikirkan dan direnungkan dengan tenang. Bahwa tidak semua yang menggetarkan kalbu, adalah wahyu yang sebenarnya.

Seorang penyair harus menimbang, memilih, mengupas, dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan. Pikira paling berpengaruh dalam sebuah kerja kesenian bermutu tinggi. Jika kerja setengah-setengah, bercampur-baur emosi dan fantasi, maka yang muncul adalah sebuah karya inproviasi. Dan sebuah hasil kerja seorang improvoitasator terbesar sekalipun, tak setinggi mutu kesenian yang sungguh-sungguh.

Sebab keindahan kesenian hanya lahir dari pertimbangan, keseimbangan, perpaduan, dari segala getaran-getaran hidup, yang muncul menyeruak dalam kesadaran para seniman yang memiliki keberanian hidup, vitalitas menjelajahi berbagai kemungkinan pemikiran, bahkan mengambil gambaran ronsen sampai ke putih tulang belulang kemanusiaan.

Akibat dari kecermatan menimbang, memilih kepastian kata dalam sajak, menimbulkan pemadatan isi dan kesingkatan bentuk, dan kata pun menjadi monumental. Peranan otak dan intuisi nampak besar, seakan-akan membuktikan kebenaran penyair Elisabeth Drew tentang penyair sebagai seorang yang “merasakan pikirannya, memikirkan sensasi-sensasi perasaanya”.

Sajak-sajaknya umumnya pendek-pendek, merangkum ekspresi manusia dengan ideologi yang coba dijabarkan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), di antaranya: Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dilahirkan…

Kritik atau Saduran dalam Karya Sastra Terbesar?

ASLI ATAU SADURAN?

Dalam cipta-mencipta ada semacam persamaan yang tidak terjadi karena peniruan tapi karena pengaruh . Peniruan melahirkan plagiat. Plagiat yang seratus persen ialah pengembalian atau penerjemahan sesuatu hasil begitu saja dengan tidak menyebutkan nama pengarang yang asli, tetapi menaruhkan nama sendiri sebagai pengarang.

Cerita yang disadurtidak bisa dikatakan cerita asli, meskipun cara menceritakannya barangkali lebih baik dari cerita mula-mula dan nilainya sebagai saduran mungkin lebih tinggi dari yang asli.

Yuridis plagiat adalah pencurian yang patut dihukum. Hukuman yang paling tepat adalah hukuman moral yang diderita plagiator apabila perbuatannya diketahui oleh umum. Hasil pengaruh memperlihatkan pengaruh-pengaruh ialah hasil yang pada dasarnya mempunyai jiwa dan rangkanya sendiri, tetapi diperkaya dan diperkuat dengan anasir-anasir yang mempengaruhi.

Syarat yang paling penting adalah keaslian dalam pengucapan, bukan saja dalam bentuk tetapi juga dalam isi. Hasil yang nyata barang tiruan tidak pernah bisa besar. Sebab itu alangkah baiknya jika pengalaman, pengetahuan, dan serba pengaruh dicernakan dan dikerjakan sehingga ciptaan mempunyai watak sendiri.

APAKAH TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK PLAGIAT?

Menjelang akhir tahun 1962 dihebohkan orang bahwa karangan Hamka Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah jiplakan dari karangan Alphonse Karr Sousles Tilleuls yang disadur/diterjemahkan oleh Mustofa Luthfi Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab dengan judul Majdulin.

Dengan singkat dan popular dapatlah saya jelaskan pendapat saya mengenai pengertian plagiat dalam arti jiplak.

Seseorang anak melihat gambar rumah. Timbul keinginananya untuk membuat rumah juga. Diambilnya kertas minyak atau juga. Diambilnya kertas minyak atau kertas tipis. Hasilnya? Di situ rumah, di sini rumah.- Tetapi dalam pekerjaan ini sianak tidak menggunakan pikirannya secara kreatif. Pekerjaannya otomatis.

Pada suatu hari, saya lihat anak saya menggambar singa, sedang di depannya terletak sebuah buku yang bergambar singa pula. Saya perhatikan singa anak saya. Mukanya seram, kejam, mau menerkam. Saya perhatikan pula singa dalam buku: singa itu sedang tidur dengan amannya. Saya perhatikan seterusnya. Singa anak saya berdiri di depan gua yang menganga, singa di dalam buku sedang tidur dalam kurungan, - saya girang.

Disini ada kegiatan pemikiran, ada imajinasi, ada kreasi. Anak saya tidak hanya menjiplak. Dalam otaknya ada proses kreatif, dia membayangkan bagaimana rupa singa sedang marah dan itulah yang digambarkannya menurut imajinasinya.

Sebuah karya tidaklah dianggap plagiat, dapat serta merta diukur dengan batasan diatas, tetapi harus dikupas dan diselidiki sendiri, supaya tidak terjadi aniaya terhadap pengarang bersangkutan yang dituduh.

Sanduran ialah cerita yang mengambil cerita lain sebagai contoh dengan tidak mengadakan perubahan dalam plot cerita dan permasalahan. Yang lain hanyalah lingkungan tempat dan manusianya, yaitu diubah sesuai dengan tempat dan manusia di lingkungan penyadur. Saduran yang jauh menyimpang dari aslinya, dalam plot, dalam permasalahan, dalam gagasan-gagasan yang dikemukakan, akan sukar disebut demikian. Apalagi kalau di dalamnya dimasukkan pengalaman dan tanggapan dunia si penyadur sendiri, yang dalam hal ini tidak lagi menyadur, tetapi mengarang cerita sendiri.

Maka, tidaklah tepat menyebut karya pengarang itu saduran begitu saja, tetapi ciptaan sendiri. Lebih-lebih kalau dalam proses penciptaan tidak ada maksud untuk menyadur, maka persamaan yang mungkin nampak dapat dikembalikan pada pengaruh belaka.

Dengan rumusan-rumusan yang diberikan diatas, pastilah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukan jiplakan, karena bukan terjemahan harfiah ataupun bebas dari karangan Manfaluthi/Karr. Hamka bukanlah penjiplak yang tidak mempergunakan daya fantasinya, penjiplak yang hanya sekedar mengalih bahasa dan menyuguhkan terjemahannya sebagai ciptaan sendiri.

Jumat, 24 April 2009

Teori Kritik Sastra

TEORI KRITIK DAN PELAKSANAAN KRITIK DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN

1. Teori Kritik dalam Kritik Sastra Indonesia Modern

Sejak terbitnya roman Azab dan sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1921, maka mulailah tradisi baru dalam sejarah kesusasatraan Indonesia. Mulai tradisi baru yang coraknya berlainan dengan kesuasastraan lama (kesusastraan melayu), baik dalam persoalannya, pandangan hidup, latar belakang, maupun gayanya. Sejak roman Indonesia pertama terbitan balai pustaka itu, maka tak putus-putusnya mengalir karya-karya sastra Indonesia dari tangan para sastrawan Indonesia, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Juga dengar bertambahnya, gaya, corak, serta persoalannya berkembang sesuai dengan pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal itu disebabkan oleh karya sastra itu merupakan pancaran jiwa pengarangnya. Pengarang sebagai anggota masyarakat yang melingkunginya. Persoalan itu menyangkut bidang perekonomian, kemasyarakatan maupun politik, cita-cita, dan sebagainya.

Dalam hal ini timbullah pandangan-pandangan dan aliran-aliran dalam kesusastraan Indonesia yang hendak memberi corak perkembangan kesusastraan Indonesia berdasar paham-paham tersebut. Dengan adanya aliran-aliran dan paham-paham itu, maka terjadilah perdebatan-perdebatan, pertentangan-pertentangan pendapat, bahkan sering meruncing menjadikan permusuhan yang mengakibatkan tidak sehatnya perkembangan kesusastraan Indonesia. Yang disebabkan karena mementingkan fahamnya, maka mereka lupa atau melupakan hakikat sastra sendiri dan melihat sastra berdasarkan paham-pahamnya itu.

Kalau diingat bahwa seseorang sastrawan itu juga seorang ” kritikus” , maka dapatlah dari karya –karyanya itu disimpulkan bagaimana ia menilai karya sastra, Kalau kita baca roman-roman Indonesia dalam masa permulaan pertumbuhannya, maka akan tampak bahwa di dalamnya sangat diutamakan pemberian didikan kepada pembaca, bahkan para penulis roman itu secara langsung memberi nasehat dan didikan kepada pembaca tentang berbagai masalah, tentang sikap baik dan buruk, tentang budi pekerti yang pantas dan yang tidak pantas dan sebagainya. Para pengarang tidak tidak hanya cukup menyimpulkan peristiwa-peristiwa yang dialami para pelaku ceritanya, mereka merasa haruslah setgal masalah diberikan komentar panjang lebar dan secara langsung ditujukan kepada pembaca supaya jelas. Para pengarang dalam masa permulaan kesusastraan Indonesia modern memandang bahwa karya sastra yang baik adalah suatu karya yang langsung memberi didikan kepada para pembaca.

Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral hingga dengan demikian, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua.

Teori tentang kritik sastra taraf kedua sudahlah lebih jelas dan tegas dari taraf yang pertama, yaitu ketika timbulnya sastrawan-sastrawan yang tergolong Angkatan Pujangga Baru. Para sastrawan sudah mengemukakan pahamnya tentang kesusastraan yang ditulisnya dalam bentuk esai dan kritik sastra. Dalam masa Pujangga Baru itu sudah bergema pertentangan paham tentang karya sastra, yang berupa paham ”seni untuk seni” dan ”seni bertendens”. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan ”seni untuk seni” dengan tegas diwakili oleh Sanusi Pane.

Pendirian ”seni untuk seni” itu segera mendapat tantangan dari Sutan Takdir Alisjahbana, yang menghendaki ”seni bertendens” , seni diciptakan untuk tujuan, yaituuntuk kepentingan masyarakat, untuk membawa bangsa Indonesia ketaraf penghidupan yang lebih tinggi. Seniman harus memelopori bangsanya, ia harus memimpin bangsanya dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan dan kehidupan. Dikatakannya bahwa ”seni untuk seni” itu kosong, tak berisi. Dengan pendiriannya yang demikian itu, Sitan Takdir Alisjahbana menganjurkan kepada para seniman untuk memutusakan sejarah dengan masa lampau. Dengan kata lain ia menginginkan karya sastra hendaknya bermain dalam masyarakat modern, dengan persoalan-persoalan masyarakat masa kini.

Dengan pecahnya Perang Dunia II, datanglah perubahan yang besar. Masuknya kekuasaan Jepang ke Indinesia membawa perubahan susunan politik, kemasyarakatan, dan perekonomian. Segala ini mempengaruhi sikap hidup bangsa Indonesia, tidak ketinggalan pula sastrawannya. Mereka membawa pembaharuan dalam kesusastraan Indonesia, mereka memperbarui teori penilaian pujangga Baru dengan karya-karya mereka yang revolusioner. Mereka ini dipelopori oleh Chairil Anwar dalam bentuk puisi dan Idrus dalam bidang prosa. Garis-garis pendirian para sastrawan ini makin jelas sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Para sastrawan baru inilah yang kemudian disebut sastrawan Angkatan ’45.

Selam perang karena agresi belanda, masuklah paham baru yang diperkenalkan oleh Van Nieuwenhuyze kepada para sastrawan Indonesia di Jkarta, ialah paham ”humanisme” . yang pada akhirnya terkenal dengan nama ”humanisme universal” . Baru sesudah pemulihan kekuasaan ke tangan pemerintah Republik Indonesia 27 Desember 1949, Perumusan mengenai paham, dan penilaian terhadap kesusastraan dibuat oleh para sastrawan Angkatan ’45. Perumusan itu termuat dalam ”Surat Kepercayaan Gelenggang” bertanggal 18 Pebruari 1950 dan dimuat dalam majalah siasat tanggal 22 Oktober 1950.

Para sastrawan baru itu menghendaki kebudayaan Indonesia baru, yang terjadi dari ramuan kebudayaan dunia dan dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Oleh karena itu, mereka menghendaki penilaian yang baru untuk mengganti penilaian yang usang. Tentunya disini dimaksudkan dengan penilain usang yaitu pada bidang sastra. Terutama dalam penilaian Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Dalam mencari dan menemukan, yang pokok ditemui ialah manusia. Ini sesuai dengan paham humanisme universal tersebut, yaitu paham yang mementingkan hakikat manusia universal, yang umum, tanpa membeda-bedakan golongan dan bangsa. Disini para sastrawan Angkatan ’45 menghendaki kesusastraan yang universal, yang dapat diterima oleh segala manusia.

Sememtara itu karena adanya bermacam-macam golongan di Indonesia, yang pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat LEKRA. Dalam LEKRA ini berkumpullah karyawan-karyawan seni dan buday. Lekra menghendaki seni yang mengabdi kepada rakyat. Para sastrawan Lekra mengingkan kesusastraan yang berpaham kesusastraan sosialis, yaitu yang mengabdi kepada rakyat.

Begitulah paham-paham tentang kesuasatraan dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia secara singkat, dari awal timbulnya hingga sekarang. Paham-paham itu sedikit banyak berpengaruh kepada pelaksanaan kritik sastra di Indonesia, bersangkut-paut dengan penilaian karya sastra.

Pada masa permulaan kesusasteraan Indonesia (sekitar tahun 20-an) belumlah dikemukakan teori ntentang penilaian, kecuali hanya dapat kita simpulkan dari karya-karya sastrawan, yaitu bahwa kesusastraan harus memberi didikan kepada masyarakat. Karena itu secara objektif karya-karya mereka ditinjau dari hakikat seni sastra kurang mutu seninya.

Taraf kedua, dengan munculnya sastrawan-sastrawan Pujangga baru, maka timbul pula paham-paham tentang seni pada umumnya dan pada sastra khususnya. Tokohnya antara lain, Sutan takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, sanusi Pane dan Arminj Pane.

St. Alisjahbana mengkritik karya sastra yamg bertendens kemajuan sebagai karya sastra yang lemah sedangkan penyatuan seninya dijatuhkan pada nomor dua. Filsafat membuat mausia merasa dirinya asing dari dunia.

Arminj Pane berkata untuk menilai suatu kesenian, sebaiknya pujangga itu sendiri yang jadi ukuran. Yang kita utamakan ialah sajak pujangga itu benar-benarlah menyatakan sukmanya atau tindakan yang mencerminkan sukmanya itu secara tepat.

Dala mengkriti St. Alisjahbana tampak berat sebelah karena hanya mementingkan idenya sendiri bahwa masyarakat dan bangsalah yang terpenting meskipun ini memang ide yang positif. Penilaiannya adalah absolute. Beliau kurang menunjau hakikat karya sastra secara metode melainkan berdasarkan idenya sendiri.

Tokoh utama Pujangga Baru yang kedua ialah Sanusi Pane, yang sangat bertentangan pendapatnya dengan Takdir mengenai kebudayaan pada umumnyadan mengenai kesusastraan pada khususnya. Sanusi Pane, selain mementingkan ide dan persoalannya, perlulah ia kembali kepada hakikat seni karena kesusastraan adalah pernyataan seeni sehingga dengan demikian, kesusasteraan tidak hanya turun nilainya hanya menjadi alat propaganda saja. Sanusi dikecam karena ia memakai semboyan “Seni untuk Seni” itu. Padahal jika dilihat perkembangan karyanya Sanusi berkeras hati hendak mencipta seni sastra yang tinggi dan berguna bagi masyarakat.

Jadi jelas bahwa kembalinya Sanusi Pane pada seni untuk seni meskipun ia menolak L’art Pour L’art, ia ingin agar tidak ada pemaksaan id eke dalam karya sastra sehingga menyebabkan karya sastra tidak wajar dan berat sebelah yang akibatnya dapat merendahkan nilainya.

Menurut Arminj Pane, penilaian kesusastraan berdasar hakikatnya: karya sastra harus dinilai berdasar bentuk dan isinya. Begitu juga dalam menilai karya sastra harus dinikai berdasar bentuk dan isinya. Begitu juga dalam menilai karya sastra harus objektif, jangan hanya berdasar perasaan sendiri, tetapi harus sastrawansendiri yang jadi ukurannya, karyanya dapat mencerminkan pengalaman jiwanya atau tidak, itulah yang harus menjadi pertimbangan dalam menilai karya sastra. Pendiriannya tentang adanya persatuan bentuk dan isi serupa dengan pendapat Sanusi Pane. Menurut metode literer, suatu karya sastra tidak dapat diukur dengan ukuran subjektif, menurut paham pribadi si penimbang sendiri ataupun sastrawan sendiri, melainkan harus diukur dengan ukuran objektif berdasarkan hakikat sastra. Dengan pandangan Arminj pane yang subjektif itu maka penilaiannya cenderung kepada relativisme.

Pada Angkatan ’45, orang yang pertama kali dengan tegas mengemukakan teori penilaian ialah Chairil Anwar yang diucapkan pada pidatonya tahun 1946. Ia berpendapat bahwa sebuah sajak yang menjadi ialah suatu dunia-dunia penyair. Dunia itu diciptakan dari bahan-bahan yang berupa pikiran, keadaan alam, keadaan sekeliling, pengaruh-pengaruh seni lain, segala pengaruh dan pikiran-pikiran yang kemudian disatukan, hingga menjadi suatu dunia baru.

Suatu sajak menjadi penting bila karya tersebut dapat menjilmakn segala pengalaman jiwa yang luas, jauh dan dalam ke dalam karya tersebut. Jadi dalam menimbang karya sastra ini, Chairil Anwar mempergunakan kriteria estetis dan ekstra estetis. Ia menilai karya sastra berdasarkan hakikat sastra sebagai karya seni.

HB Jassin, penilaiannya dapat dilihat dalam buku-bukunya, beliau menimbang, menilai karya sastra itu berdasarkan pada karya sastra sendiri, tidak berdasarkan paham dan aliran H.b Jassin mengemukakan bahwa kekurangan seni tendens dan propaganda ialah soal-soal terlalu dilihat dari sudut cita-cita dan keyakinan sendiri sehingga kadang-kadang jadi bertentangan dengan logika, akal, dan budi. Dalam menilai karya sastra harus tidak memandang semboyan seni untuk seni bertendens , orang harus mengutamakan karya sastra sebagai pernyataan seni, jadi berhubungan engan criteria estetis.

Begitulah paham-paham dalam kesusasteraan dan teori penilaian dalam sejarah kesusasteraan Indonesia modern. Pada umumnya dalam teori-teori penilaian ada persamaan antara kritikan dengan seniman meskipun tidak seluruhnya, hanya cara merumuskan yang berlainan. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa menilai karya sastra haruslah pertama kali melihat pada karya sastra sendiri, berhasil mencapai tingkat seni atau tidak, sedangkan mengenai aliran-aliran jatuh pada nomor dua.

PELAKSANAAN KRITIK DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN

Menganalisis karya sastra harus sampai kepada penilaian yang menyeluruh pada norma-normanya dan kemudian menyatukan kembali, menilai karya sastra sebagai keseluruhan yang utuh. Kritik sastra dalam kesusteraan Indonesia belum memuaskan, belum memenuhi kritik sastra menurut metode literer secara semestinya. Seperti pernah dikemukakan oleh Asrul Sani bahwa kerapkali kritikus lebih mementingkan tokoh daripada karya sastranya sendiri.

Mengenai pelaksanaan kritik sastra ini, terutama dipergunakan hasil kritik yang berupa buku atau yang sudah dibukukan, hal ini supaya mudah diikuti, berhubung sukarnya mendapat bahan-bahan dari majalah-majalah yang tersebar, yang tiada tentu hingga sukar diikuti.

Hasil-hasil kritik sastra itu berupa pidato radio, timbangan buku, esai-esai dalam majalah, ceramah dan seminar, dan studi yang berbentuk buku. Kebanyakan berupa fragmen-fragmen, artinya hanya mengenai seorang pengarang, itu pun baru mengenai satu bukunya, atau beberapa bukunya saja; atau apabila sudah berupa buku, itu hanya berbicara tentang pengarang-pengarang tertentu, atau hanya meninjau genre sastra tertentu, misalnya hanya cerita pendek saja, atau hanya roman atau novel saja .

Pada umumnya timbangan buku, gunanya untuk menarik perhatian pembaca terhadap buku baru tersebut. Jadi, fungsinya terutama fungsi komersial. Namun, suatu resensi atau timbangan buku yang baik dapat pula memberikan penerangan kepada pembaca betapapun ringkasnya, berhubung kesempitan ruang timbangan buku itu.

Bicara Jurnalistik, Siapa Takut?

JURNALISTIK MEDIA CETAK

Jurnalistik media cetak adalah berita-berita yang disiarkan melaui benda cetakan. Dri segi format atau ukurannya. Media massa cetak terbagi menjadi berbagai segi :

1) Format Broadsheet

Yakni medi cetak berukuran surat kabar umum. Di Indonesia hampir seluruh koran berukuran sama karena kertas yang digunakan ukurannya standar internasional. Akan tetapi, sejak tahun 1980-an mulai muncul koran yang berukuran lebih kecil dengan mengurangi kolomnya.

2) Format Tabloid

Yakni media yang berukuran setengah dari format broadsheet. Format tabloid diperkenalkan untuk mereka yang selalu sibuk sehingga harus membaca koran dalam mobil, bis, dan kereta.

3) Format Majalah

Yakni setengah ukuran dari tabloid. Pengertian format ini selain karena ukuran, lataran halaman demi halaman diikat dengan kawat serta menggunakan sampul yang jenis kertasnya lebih tebal atau mengkilap dibanding kertas halaman dalam.

4) Format Buku

Yakni ukuran setengah halaman majalah.

Media cetak koran, tabloid, dan majalah memiliki perbedaan bukan hanya dari segi format atau ukuran kertasnya. Tetapi juga dari segi jadwal terbit dan isinya, serta harganya.

STRUKTUR REDAKSI

Dalam perbitan atau perusahaan pers, yang berwenang mengizinkan atau menolak suatu berita untuk di publikasikan sepenuhnya ada ditangan redaksi, isi diluar tanggung jawab percetakan. Secara struktural redaksi umum terdiri atas: pemimpin redaksi, redaktir pelaksana, koordinator liputan / reportase, dan reporter. Setiap divisi menjalani fungsinya masing-masing hingga melahirkan suatu produk berita baik yang dicetak, disiarkan, ataupun ditayangkan. Pemimpin redaksi adalah jabatan tertinggi dalam jajaran redaksi, dan bertanggung jawab terhadap berita yang dibuat di medianya.

Berikut struktur yang umum berlaku di banyak media di indonesia.

Pemimpin Redaksi

Redaktur Pelaksana / Eksekutif

Redaktur & Koordinator Liputan

Asisten Redaktur

Reporter

Redaktur pelaksan bertanggung jawab langsung kepada pemimpin redaksi. Redpel adalah pelaksan dari kebijakan umum yang di buat penerbitan pers dan pelaksan dari kebijaksanaan khusus yang diberikan pemimpin redaksinya.

Redaktur adalah yang mengedit, menyunting setra menyajikan berita pada setiap halaman media. Yang sederajat dengan redaktur adalah koordinator liputan, yang bertugas mengatur proses liputan berita.

Reporter berada dalam posisi terakhir. Namun reporter merupakan ujung tombak dalam mencari dan mendapatkan berita. Berita yang dibuat reporter itulah yang kemudian diedit atau disunting redaktur, lalu disajikan atau dimuat di halaman media.

STRAIGHT NEWS, APA dan UNTUK APA

Ini adalah istilah teknis dalam jurnalistik untuk menunjukkan sebuah berita yang ditulis atau disajikan secara lurus dan lempang. Pada penyajiannya menggunakan apa yang disebut dengan Piramida Terbalik. Sifat tulisannya juga padat, singkat dan jelas yang memenuhi unsur 5 W + 1 H. Straight News berlaku untuk berita-berita yang terus berkembang setiap hari ataupun setiap waktu.

Karenanya, hampir seluruh berita yang disajikan koran-koran yang terbit setiap hari memakai pola penyajian seperti ini.

Feature, Teknik Jurnalistiik Kreatif

Di tengah persaingan yang keras dan tajam antara media cetak dan elektronik, surat kabar mencari alternatif dalam penyajian beritanya, supaya menarik. Salah satu bentuk kreatif itu adalah menyajikan lewat featur. Feature merupakan teknik jurnalistik yang disajikan secara sangat khas, berbeda dengan penulisan berita biasa yang disajikan lurus dan cenderung singkat dan kurang padat.

Unsur penting yang mendukung feature sehingga menjadi tulisan yang menarik.

1. Deskripsi : ada penggambaran suatu objek secara terinci, yang diamati melalui pancaindera. Penulisan deskripsi merupakan gabungan beberapa kecakapan penulisannya yakni pengumpulan bahan reportasi, kemampuan observasi tinggi, pengetahuan tentang manusia sesuai dengan pengalaman reportase, dan kemampuan meramu kata-kata secara singkat dan efektif.

2. Fantasi : wartawan dapat menciptakan suatu cerita berdasarkan data-data dan keterangan yang diperolehnya.

3. Anekdot atau humor : di dalam feature dimungkinkan wartawan menyisipkan humora-humor singkat sehingga tulisan menjadi segar, tidak kering atau dingin seperti berita langsung.

4. Kutipan : di dalam feature dimungkinkan pengutipan pernyataan tokoh yang menarik, bait-bait sajak, syair lagu, atau penggalan sebuah novel yang dianggap relevan dengan kisah yang ditulis.

Dalam tiga puluh terakhir ini feature menjadi alat penting bagi surat kabar untuk bersaing dengan media elektronik. Wartawan surat kabar mengakui bahwa mereka tidak akan bisa mengaing bagi surat kabar untuk bersaing dengan media elektronik. Wartawan surat kabar mengakui bahwa mereka tidak akan bisa mengalahkan wartawan radio dan televisi dalam hal kecepatan penyampaian berita ke masyarakat. Meraka sadar bahwa beberapa jam setelah kejadian barulah bisa menyaampaikan berita pada pembncanya. Maka dalam feature kesenjangan bisa diatasi. Bahkan feature yang ditulis secara eksklusif mampu mengalahkan berita-berita yang disajikan radio dan televisi.

Sekarang muncul telah menjadi kematangan bukan lagi sebagai selingan berita tapi justru memberikan kedalaman, arti, dan perspektif bagi berita sendiri. Karena feature menjadi tempat penting yang bisa sejajar dengan berita-berita lainnya. Feature mengalami perkembangan yang bisa dipakai bukan hanya untuk menyajikan suatu peristiwa semata. Tetapi berbagai ojek bisa disajikan ke dalam beragam bentuk feature , diantaranya sosok/profil seseorang, sejarah, petualangan, pengalaman manusiawi, prediksi atau ramalan dan gaya hidup.

Headline (Berita Utama)

Headline adalah berita yang dianggap paling besar dan penting bagi khalayak diantara semua berita yang ada pada hari itu. Oleh karena itu headline dimuat di halaman pertama dengan tampilan yang menonjol terletak di atas dengan judul dicetak tebal dan ukuran huruf paling besar diantara berita lainnya dan kadang beria itu disertai dengan foto-foto yang mendukungnya sehingga headline tampak sangat menonjol pada halaman muka setiap koran.

Headline biasnya ditentukan lewat rapar redaksi yang melibatkan pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, serta beberapa wartawan. Di tengah persaingan media yang semakin ketat dan tajam, aspek komersial juga sering menjadi pertimbangan dalam menentukan headline. Banyak media kini cenderung memilih headline yang menarik pembaca alias laku dijual. Semakin menarik headlinenya, maka semakin besar pula surat kabar yang dibeli pembaca. Oplahnya akan meningkat, sebaliknya jika headline tidak menarik surat kabar akan menumpuk di kios-kios dan tidak ada yang membeli. Disinilah redaksi media dituntut untuk memiliki feeling yang tepat dalam menentukan headline. Redaksi harus menemukan headline yang bernilai jurnalistik sekaligus menarik perhatian pembaca.

Investigasi

Investigasi ialah model liputan berita mengenai sesuatu yang didasarkan pada penyelididkan atau pengusutan secara mendalam dan cermat. Ada pengalian fakta-fakta, data-data, dan pernyataan sumber berita yang dilakukan secar teliti dan akurat. Biasanya peliputan investigasi diginakan untuk kasus-kasus atau peristiwa besar yang harus disajikan secara lengkap dan mendetail sehingga pembaca atau pemirsa dapat mengetahui atau memahami secar sejelas-jelasnya.

Liputan investigasi berupaya mencari informasi tersembunyi untuk dilaporkan kepada masyarakat. Ciri peliputannya meliputi kegiatan pengujian berbagi dokumen dan rekaman pemakai informan, keseriusan dan perluasan riset. Bahan studi laporan investigasi antara lain yaitu;

1. Mengungkapkan kepada masyarakat berdasarkan informasi yang perlu mereka ketahui karena menyangkut kepentingan atau nasib mereka.

2. Liputan investigasi tidak hanya mengungkapkan hal-hal secara oprasionaltidak sukses, tetapi dapat juga sampai pada konsep yang keliru.

3. Liputan investigasi itu beresiko tinggi karena dapat menimbulkan kontroversi dan bahkan kontrodiksi dan konflik.

4. Memikirkan akibat-akibat yang timbul terhadap subjek laporan dan penerbitan itu sendiri.

5. Diperlukan kecintaan dan semangat pengabdian kepada kepentingan masyarakat luas.

Untuk menghasilkan laporan investigasi harus ada idealisme baik di dalam diri dalam reporter itu sendiri maupun di dalam sekto-sektor lain dalam struktur organisasi pers itu, hingga kepada anggota redaksi dan pemegang sahamnya. Sehingga liputan yang disajikan benar-benar mencerminkan ras tanggung jawab pers kepada publik dalam menyampaikan informasi yang penting mendalam dan akurat.

5 W+1H, Rumus Populer Jurnalistik

5W+1H adalah rumus yang paling terkenal dalam jurnalistik. Rumus ini digunakan wartawan dalam penulisan atau penyajian berita, yang bersifat universal atau berlaku di dunia jurnalistik manapun di muka bumi ini.

Contoh 5W+1H :

(1)Tabrakan terjadi(2) di jalan tol Jagorawi di sekitar pabrik Cibinong, (4)Minggu siang (15-5-2003) dan merenggut nyawa pengemudinya, (3)Rahmat Hidayat (50) Direktur PT Kurawa. Mobil Toyota Kijang yang dikemudikannya terbalik setelah(5) menabrak truk gandeng yang mengangkut batu kali. (6)Toyota Kijang yang sedang melejit di tol Jagorawi menabrak truk gandengan dan terpental sekitar 50 meter dari jalan aspal dan terbalik sekitar pabrik semen Cibinong. Akhirnya Rahmat tewas.

Keterangan:

(1)What/apa

(2)Where/dimana

(3)Who/siapa

(4)When/kapan

(5)Why/mengapa

(6)How/bagaimana

Lead (Teras Berita)

Membaca sebuah berita ibarat mendengarkan musik, orang sering tergoda mendengarkannya tatkala nada pembukanya terasa enak di telinga. Begitu juga berita, orang akan terpancing untuk membacanya bila kalimat narasi pembukanya menarik dan memikat. Untuk itu wartawan harus pandai membuat lead berita yang bagus dalam arti dapat merangsang orang untuk membaca atau menyimak berita tersebut hingga selesai. Tujuan dan fungsi utama lead ialah menarik pembaca untuk mengikuti tulisan dari awal hingga akhir dan membuat jalan supaya alur cerita di dalam berita itu lancar.

Sumber-Sumber Berita

Sumber berita yang lazim digunakan wartawan:

  1. Peristiwa atau kejadian: wartawan melakukan observasi langsung terhadap fakta-fakta yang ada di lapangan.
  2. Proses wawancara: guna mendapatkan informasi sebagai berita, wartawan juga dapat melakukan wawancara. Dia menanyai narasumber yakni orang-orang yang terkait dan relevan informasinya.
  3. Pencarian atau penelitian dokumen : sebuah berita bisa digali dari sumber berupa dokumen-dokumen yang dianggap menyimpan informasi penting.
  4. Partisipasi dalam peristiwa: meskipun wartawan bertindak sebagai mediator , namun harus di akui pula bahwa ada kalanya wartawan juga terlibat dalam penciptaan berita.

Meskipun masing-masing sumber berita tersebut bisa berdiri sendiri, dalam pragtiknya keempat sumber berita itu bisa muncul bersamaan dalam suatu sajian berita.

Jenis-jenis Berita

1. Berita Standar

Berita yang biasa-biasa saja

2. Berita Ekslusif

Berita yang sangat penting, yang merupakan kebanggaan bagi tiap wartawan. Berita ekslusif merupakan prestasi dalam jurnalistik yang sangat penting bukan hanya bukan bagi wartawan tetapi juga dapat menaikkan pamor medianya.

3. Berita Basi

Berita yang informasinya dan penyebarannya terlambat dari yang seharusnya tiba, sehingga masyarakat pun terlambat menerimanya.

4. Gosip

Gosip adalah isu atau desas desus tentang suatu peristiwa atau tentang seseorang yang kebenarannya belum terbukti dan bahkan diragukan.

5. Rumor

Rumor adalah kabar yang tersiar di masyarakat yang tidak diketahui sumbernya secara jelas tetapi dikutip dan di yakini sebagai berita.

6. Berita Sepihak

Berita yang diperoleh dari beberapa sumber saja.

7. Berita Balancing

Berita yang sangat layak untuk dipublikasikan.

8. Berita SARA

Berita yang membahas tentang sukuisme, agama, ras, antargolongan.

9. Berita Terakhir

Berita yang didapat ketika wartawan mendapatkan deadline dan peristiwa itu baru muncul.

Jumat, 17 April 2009

Kehadiran Petir yang Dinantikan

Supernova, tampaknya, berhasil mendudukkan sang penulisnya, Dewi Lestari, 25 tahun, ke kursi sastrawan. Hal itu, setidaknya, tercermin dari pendapat Jakob Sumardjo, kritikus sastra Indonesia, seperti yang tertulis di sampul belakang novel yang diterbitkan Truedee Books itu. "Inilah karya sastra intelektual bergaya pop art yang sepenuhnya bermain di dunia hakiki...."

Ini tentu membahagikan Dee, panggilan akrab Dewi Lestari, alumnus jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung. Yang lebih membahagiakan Dee lagi adalah antusias masyarakat terhadap novel yang "menerabas segala sekat disipliner --fisika, psikologi, religi, mitos, dan fiksi-- itu.

Ketiga buku Dee ditulis dengan gaya penulisan yang berbeda-beda. Di bukunya yang pertama, Supernova ''Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh', banyak kata-kata sulit, sehingga cukup banyak footnote di buku tersebut. Hal ini disebabkan karena pemakaian katanya yang terlalu sukar dimengerti dan menggunakan istilah, sehingga kata-katanya sukar untuk dinikmati. Bagian yang paling menarik dari buku yang pertama adalah cerita tentang 'Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh' dan beberapa puisi yang sarat makna. Dan buku ini ternyata diakhiri dengan ending yang mengejutkan, tak tertebak. Menyisakan satu pemikiran, mungkinkah kita hanya bagian dari sebuah cerita?

Di bukunya yang kedua, Supernova 'Akar', gaya penulisan Dee benar-benar berubah. Tak banyak kata-kata sulit, tak ada lagi footnote. Sehingga perkatanya benar-benar bisa dinikmati dan dipahami, halaman per halaman, tak ada yang terlewatkan. Buku kedua ini sangat imajinatif. Menceritakan tentang karakter Bodhi dengan komunitas punker dan dunia tattoo nya.

Di bukunya yang ketiga, Supernova 'Petir' yang dinanti, gaya bahasa Dee lebih membumi, lebih ringan, apa adanya dan lebih kocak. Diawal cerita disinggung tentang pasangan sejenis yang ada di buku pertama, Dhimas dan Ruben. Dan juga disinggung nama Gio Alvarado dan Diva Anastasia dalam sebuah email yang diterima Dhimas. Kemudian sebagian besar buku bercerita tentang karakter baru, Elektra. Diakhir cerita, tokoh Bong yang ada di buku kedua juga tiba-tiba muncul. Jalinan demi jalinan dalam supernova satu demi satu bertaut. Bagi para pembaca serial Supernova mungkin buku inilah yang paling dinanti-nanti selama hampir dua tahun.

Tokoh utama pada episode Petir ini adalah seorang gadis bernama Elektra. Elektra lahir dari keluarga sederhana, dia hidup bersama ayah dan kakaknya Watti. Ibunya meninggal ketika Elektra masih kecil sedangkan Ayahnya seorang tukang listrik dan membuka usaha bernama Wijaya Elektrik. Elektra adalah sosok yang unik, ia senang menonton kilatan petir semenjak kecil akibat pernah tersetrum aliran listik. Kematian ayahnya membawa satu babak baru dalam kehidupan Elektra karena tak lama setelah kematian ayahnya Watti menikah dan harus pergi meninggalkan Elektra untuk mengikuti suaminya ke Tembagapura . Tinggallah Elektra seorang diri dan harus meneruskan usaha ayahnya dengan setumpuk masalah hutang piutang dan administasi yang tak dimengertinya. Akhirnya ia tak mampu untuk mengelola Wijaya Elektrik dan harus menutupnya.

Dalam masa pencarian kerjanya Elektra menerima surat dari sebuah perguruan tinggi alam gaib yang menawarkan dirinya untuk menjadi asisten dosen (hal 47). Ilmu perklenikan atau adanya nama STIGAN (Sokolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional) membuat semakin menarik novel ini untuk terus dinikmati. Dee berusaha mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang di era modern ini masih mempercayai hal-hal gaib dan berhubungan dengan dunia perdukunan. Ini tercermin dari sikap penasaran tokoh Elektra yang mencoba memenuhi persyaratan 'aneh' yang diajukan dan membawanya bertemu dengan seorang dukun (hal50). Kemudian Elektra mulai menyadari bahwa dalam dirinya terdapat aliran listrik yang mampu membuat dukun tersebut tersetrum. Dee menggambarkan secara jelas dan rinci kisah perdukunan yang dialami Elektra. Dee dapat melukiskan secara gamblang alat-alat perdukukan, prosesi ritualnya, dan penggambaran situasi Ni Asih yang kerasukan arwah Ki Jambrong. Berbeda keadaannya saat Dee berusaha menceritakan proses Elektra sang tokoh utama yang mendapatkan kekuatan listrik dalam tubuhnya. Penceritaannya kurang jelas dan sulit dicerna, maksud Dee menghantarkan pembaca untuk dapat berfikiran logis dan lebih ilmiah. Namun penjelasan yang diberikan Dee kurang rinci dan kurang gamblang sehingga membuat pembaca “melewatkan” pemahaman proses “konsep manuasia memiliki penghantar konduktor yang menghantarkan lisrtrik” (hal136). Inilah kelemahan sastrawan Indonesia yang kurang mampu menggambarkan “ilmu ilmiah/sains” yang diserap di dalam karyanya. Sisi positif yang dapat diambil, dee sudah memberikan hal baru dalam dunia sastra yang menggabungkan hal ilmiah dengan karya sastra, sehingga karya sastra itu memang universal dan mampu melingkupi dunia bidang apapun.

Akhirnya dalam suatu kesempatan Elektra bertemu dengan Ibu Sati seorang paranormal yang akan memberinya petunjuk untuk mengendalikan dan mempergunakan keunikan yang ada dalam diri Elektra . Melalui Ibu Sati ini pula Elektra akhirnya mendapat ilham untuk membuka sebuah usaha Warnet bersama teman-temannya , tidak itu saja Elektra juga akhirnya membuka praktek pengobatan berkat aliran listrik yang ada dalam dirinya.

Kali ini Petir dibuat dengan lebih membumi dan terkesan lebih ringan dari seri sebelumnya, tak jarang joke-joke segar akan ditemui dalam buku ini, persoalan-persoalan serius yang terungkap dalam buku ini disajikan dengan ringan sebagaimana tokoh Elektra yang selalu polos dalam memandang hidupnya. Joke-joke segar yang diluncurkan Dee tampak pada peristiwa Elektra memberikan petuah Watti surat Yohannes 22 ayat 5 yang ternyata dalam kitab injil surat Yohannes hanya sampai pasal 21 (hal 43). Karakter tokoh-tokohnya menarik namun terkesan tak mengada-ada dan sangat mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Gaya menulis Dewi pun kali ini lebih renyah dan mengalir hingga membuat pembaca enggan melepaskan buku ini sebelum sampai ke halaman terakhir. Melalui episode Petir ini sepertinya penulis ingin agar pembaca supernova memperoleh pengalaman yang berbeda dari tiap seri Supernova.

"Tak ada cara untuk menggambarkannya dengan tepat. Tapi coba bayangkan ada sepuluh ribu ikan piranha yang menyergapmu langsung. Kau tak mungkin berpikir. Tak mungkin mengucapkan kalimat perisahan apalagi membacakan wasiat. Lupakan untuk berpisah dengan manis dan mesra seperti di film-film. Listrik membunuhmu dengan sensasi. Begitu dahsyatnya, engkau hanya mampu terkulai lemas. Engkau mati tergoda." (cover belakang)



oleh : Yudit Manja Asmara
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2005
Universitas Negeri Surabaya