Selasa, 26 Mei 2009

Kesedihan Chairil

chairil yang ditinggalkan?

Tahun 1943 kesusastraan Indonesia dikejutkan oleh panyiar muda Cahiril Anwar. Dia seperti bom di tengah-tengah ketenangan. Sajak-sajaknya baik bentuk maupun isinya revolusioner, membawa perubahan radikal sekaligus. Waktu itu umur Chairil Anwar baru 20 tahun (Toda. 1984).

Nisan
(untuk nenenda)

bukan kematian benar menusuk kalbu
keridlaanmu menerima segala tiba
tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertahta

(1942)

Sajak Nisan ini oleh para kritikus disepakati sebagai sajak pertama Chairil. Sebuah sajak pendek yang sebenarnya menguraikan secara panjang lebar tentang “nasib” manusia. Maut demikian menusuk kalbu menuntaskan keperkasaan manusia, sebagai makhluk unggul yang mampu meluaskan eksistensinya dalam kebudayaan yang tinggi di antara sesama makhluk penghuni bumi.

Tapi, manusia agung itu ternyata tak memiliki keistimewaan dibandingkan debu sekalipun, tak kutahu setinggi itu atas debu. Maut mengakhiri daya tahan manusia itu. Tapi Chairil terpukau oleh jenis kemampuan lain yang ditunjukkan seorang manusia yang sudah tak berdaya, nenenda, yang mampu menerima kematian secara ikhlas, keridlaanmu menerima segala tiba.

Begitu ringkas dan tuntas, empat larik puisi menggambarkan secara gamblang perjalanan umat manusia di tengah kefanaan, dan duka maha tuan bertahta. Begitu langsung, empat larik puisi dipadatkan sedemikiran rupa, untuk menyampaikan berbagai gagasan atau cakrawala pemikiran tentang hidup, maut, nasib, hubungan darah, keluasan kasih sayang, dan rasa kehilangan yang dalam atas orang-orang terkasih ‘“ tanpa harus diterakan lagi sebagai rangkaian diksi atau kata-kata puisi secara panjang lebar.

Hal ini hanya dapat dikonkretkan, karena adanya kesadaran penuh pada Chairil ‘“ ingin menjadikan diksi pada puisi-puisinya sebagai kebenaran itu sendiri. Penyair Chairil adalah penemu, penguasa, pengolah, pemilihan diksi (kata), sejauh hubungan apa pun yang paling mungkin dilaksanakan untuk menegaskan makna tertentu yang mau disampaikan.

Kata adalah kepenyairan bagi Chairil. Dan kepenyairan tidak ada tanpa keunikan pengoperasian kata. Seorang penyair hanya dapat diukur oleh keberhasilannya menguasi dan memproduksi kata yang khas. Tanpa kerja keras dan keunikan, kata-kata yang terurai tak akan berbeda dengan rangkaian kata-kata umum yang telah memasyarakat sebagai bahasa awam. Sementara seorang penyair adalah seorang pengguna bahasa yang menolak menjadi awam.

Kegiatan berpuisi pada Angkatan 45 adalah kerja arsitektural yang sungguh-sungguh, jauh dari peluapan emosi sebagaimana terjadi pada pembuatan sajak-sajak remaja. Chairil menegaskan bahwa sebagai seniman, seseorang harus mempunyai ketajaman dan ketegasan dalam menimbang dan memutus, agar setiap kata dipikirkan dan direnungkan dengan tenang. Bahwa tidak semua yang menggetarkan kalbu, adalah wahyu yang sebenarnya.

Seorang penyair harus menimbang, memilih, mengupas, dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan. Pikira paling berpengaruh dalam sebuah kerja kesenian bermutu tinggi. Jika kerja setengah-setengah, bercampur-baur emosi dan fantasi, maka yang muncul adalah sebuah karya inproviasi. Dan sebuah hasil kerja seorang improvoitasator terbesar sekalipun, tak setinggi mutu kesenian yang sungguh-sungguh.

Sebab keindahan kesenian hanya lahir dari pertimbangan, keseimbangan, perpaduan, dari segala getaran-getaran hidup, yang muncul menyeruak dalam kesadaran para seniman yang memiliki keberanian hidup, vitalitas menjelajahi berbagai kemungkinan pemikiran, bahkan mengambil gambaran ronsen sampai ke putih tulang belulang kemanusiaan.

Akibat dari kecermatan menimbang, memilih kepastian kata dalam sajak, menimbulkan pemadatan isi dan kesingkatan bentuk, dan kata pun menjadi monumental. Peranan otak dan intuisi nampak besar, seakan-akan membuktikan kebenaran penyair Elisabeth Drew tentang penyair sebagai seorang yang “merasakan pikirannya, memikirkan sensasi-sensasi perasaanya”.

Sajak-sajaknya umumnya pendek-pendek, merangkum ekspresi manusia dengan ideologi yang coba dijabarkan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), di antaranya: Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dilahirkan…

Kritik atau Saduran dalam Karya Sastra Terbesar?

ASLI ATAU SADURAN?

Dalam cipta-mencipta ada semacam persamaan yang tidak terjadi karena peniruan tapi karena pengaruh . Peniruan melahirkan plagiat. Plagiat yang seratus persen ialah pengembalian atau penerjemahan sesuatu hasil begitu saja dengan tidak menyebutkan nama pengarang yang asli, tetapi menaruhkan nama sendiri sebagai pengarang.

Cerita yang disadurtidak bisa dikatakan cerita asli, meskipun cara menceritakannya barangkali lebih baik dari cerita mula-mula dan nilainya sebagai saduran mungkin lebih tinggi dari yang asli.

Yuridis plagiat adalah pencurian yang patut dihukum. Hukuman yang paling tepat adalah hukuman moral yang diderita plagiator apabila perbuatannya diketahui oleh umum. Hasil pengaruh memperlihatkan pengaruh-pengaruh ialah hasil yang pada dasarnya mempunyai jiwa dan rangkanya sendiri, tetapi diperkaya dan diperkuat dengan anasir-anasir yang mempengaruhi.

Syarat yang paling penting adalah keaslian dalam pengucapan, bukan saja dalam bentuk tetapi juga dalam isi. Hasil yang nyata barang tiruan tidak pernah bisa besar. Sebab itu alangkah baiknya jika pengalaman, pengetahuan, dan serba pengaruh dicernakan dan dikerjakan sehingga ciptaan mempunyai watak sendiri.

APAKAH TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK PLAGIAT?

Menjelang akhir tahun 1962 dihebohkan orang bahwa karangan Hamka Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah jiplakan dari karangan Alphonse Karr Sousles Tilleuls yang disadur/diterjemahkan oleh Mustofa Luthfi Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab dengan judul Majdulin.

Dengan singkat dan popular dapatlah saya jelaskan pendapat saya mengenai pengertian plagiat dalam arti jiplak.

Seseorang anak melihat gambar rumah. Timbul keinginananya untuk membuat rumah juga. Diambilnya kertas minyak atau juga. Diambilnya kertas minyak atau kertas tipis. Hasilnya? Di situ rumah, di sini rumah.- Tetapi dalam pekerjaan ini sianak tidak menggunakan pikirannya secara kreatif. Pekerjaannya otomatis.

Pada suatu hari, saya lihat anak saya menggambar singa, sedang di depannya terletak sebuah buku yang bergambar singa pula. Saya perhatikan singa anak saya. Mukanya seram, kejam, mau menerkam. Saya perhatikan pula singa dalam buku: singa itu sedang tidur dengan amannya. Saya perhatikan seterusnya. Singa anak saya berdiri di depan gua yang menganga, singa di dalam buku sedang tidur dalam kurungan, - saya girang.

Disini ada kegiatan pemikiran, ada imajinasi, ada kreasi. Anak saya tidak hanya menjiplak. Dalam otaknya ada proses kreatif, dia membayangkan bagaimana rupa singa sedang marah dan itulah yang digambarkannya menurut imajinasinya.

Sebuah karya tidaklah dianggap plagiat, dapat serta merta diukur dengan batasan diatas, tetapi harus dikupas dan diselidiki sendiri, supaya tidak terjadi aniaya terhadap pengarang bersangkutan yang dituduh.

Sanduran ialah cerita yang mengambil cerita lain sebagai contoh dengan tidak mengadakan perubahan dalam plot cerita dan permasalahan. Yang lain hanyalah lingkungan tempat dan manusianya, yaitu diubah sesuai dengan tempat dan manusia di lingkungan penyadur. Saduran yang jauh menyimpang dari aslinya, dalam plot, dalam permasalahan, dalam gagasan-gagasan yang dikemukakan, akan sukar disebut demikian. Apalagi kalau di dalamnya dimasukkan pengalaman dan tanggapan dunia si penyadur sendiri, yang dalam hal ini tidak lagi menyadur, tetapi mengarang cerita sendiri.

Maka, tidaklah tepat menyebut karya pengarang itu saduran begitu saja, tetapi ciptaan sendiri. Lebih-lebih kalau dalam proses penciptaan tidak ada maksud untuk menyadur, maka persamaan yang mungkin nampak dapat dikembalikan pada pengaruh belaka.

Dengan rumusan-rumusan yang diberikan diatas, pastilah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukan jiplakan, karena bukan terjemahan harfiah ataupun bebas dari karangan Manfaluthi/Karr. Hamka bukanlah penjiplak yang tidak mempergunakan daya fantasinya, penjiplak yang hanya sekedar mengalih bahasa dan menyuguhkan terjemahannya sebagai ciptaan sendiri.